Logo Reklamasi Pantura

Badan Pengelola Pantura Sinyal Kelanjutan Reklamasi

Badan Pengelola Pantura Sinyal Kelanjutan Reklamasi

JAKARTA – Penyelesaian polemik reklamasi teluk Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hingga kini terus menuai pro-kontra di masyarakat. Sejumlah kalangan menilai kebijakan Anies terkait reklamasi masih ambigu alias hanya sebatas lipstick untuk mencari simpati masyarakat demi melanggengkan kekuasaan.

Hal itu seperti yang diungkapkan Sekretaris Jaringan Reformasi Rakyat (JARRAK) Wilayah Jakarta Asep Irama mengatakan “Pantas jika publik menafsirkan bahwa Anies hanya mencari panggung popularitas lewat warisan reklamasi Ahok. Soalnya sikap politik Anies masih gamang soal reklamasi,” ujar Asep di Jakarta, Senin, 23/7/2018.

Suara Anies tentang reklamasi Teluk Jakarta dinilainya tak sekeras waktu kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Menurut Asep, wajar jika Anies dianggap hanya menjadikan reklamasi sebagai instrumen politik untuk hasrat kekuasaan.

Asep menegaskan, publik, terutama masyarakat pesisir Jakarta yang sebagian besar menggantungkan kehidupan ekonominya pada laut butuh kepastian, bukan alasan pembelaan.

“Masyarakat sudah muak dengan janji-janji politik yang an sich dan hanya sebagai penggembira saja. Ibaratnya, Anies menyajikan ikan tapi berisi paku, enak dilihat tapi menyakitkan ketika dimakan,” tuturnya.

Sebelumnya, Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Tigor Hutapea melihat adanya peluang bagi Pemerintah DKI Jakarta untuk melanjutkan reklamasi dengan dibentuknya badan pengelola reklamasi pantura Jakarta.

Menurut Tigor, Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja BKP Pantura tidak spesifik membahas fokus objeknya. Malah, tambah Tigor, dalam pergub itu dikatakan akan melaksanakan Keppres 52. “Nah, kalau begitu, kan, berarti melakukan (reklamasi) secara keseluruhan,” ujarnya.

Dalam pergub, menurut Tigor, tidak terbaca akan mengatur pulau yang sudah ada. Karena tidak dibuat tegas maka akan beda sendiri penafsirannya. “Seharusnya pergub (BKP) itu memerintahkan kepada Sekda dan yang lain untuk merumuskan pulau yang sudah jadi mau diapakan,” tuturnya.

Kekuatiran Tigor, menurut Ketua Komunitas Pemerhati Pembangunan Perkotaan (KP2K), Duy Nurdiansyah, memang wajar. Menurut Duy, dengan mengacu kepada Keppres No 52/1995, pergub tersebut memang memberi sinyal akan melanjutkan proses reklamasi di Teluk Jakarta.

“Dalam Keppres 52 memang diamanatkan bahwa Gubernur DKI sebagai pelaksana Keppres ditugaskan membentuk badan pelaksana reklamasi,” ujar Duy di Jakarta, Senin, 23/7/2018.

Duy menilai, apa yang dilakukukan Gubernur Anies melalui Pergub tersebut sebagai langkah yang tepat. Menurutnya, proyek reklamasi di teluk Jakarta memang harus dilaksanakan.

“Bukan hanya karena secara legal itu adalah amanat keppres, tapi juga karena kebutuhan Jakarta sebagai ibukota negara yang terus berkembang,” ujar aktivis muda pegiat lingkungan ini.

Reklamasi, menurut Duy, adalah hal yang lazim dilakukan oleh permerintah di berbagai negara.

Populasi dunia terus berkembang. Pertengahan abad 21 ini, jelas Duy, diperkirakan sekitar 70 persen populasi dunia akan tinggal di lingkungan perkotaan.

“Hal ini akan berdampak besar pada masyarakat perkotaan, khususnya kota-kota di pesisir pantai seperti kota Jakarta yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi,” jelas Duy.

Duy menambahkan, siapa pun yang ada dalam pemerintahan, pasti memahami kondisi ini. Keterbatasan geografis dan kelangkaan lahan di daerah pesisir biasanya akan mendorong perluasan batas kota administratif ke arah laut. Jadi, sangat wajar jika reklamasi lahan menjadi alat yang populer bagi banyak pemerintahan negara-negara atau kota yang memiliki pantai. “Saya yakin, gubernur Anies memahami ini,” pungkasnya.

Prev
Next

Leave a facebook comment