JAKARTA – Gubernur DKI Jakarta DKI meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mencabut Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau Reklamasi di Pulau C, D, dan G. Salah satu pengembang di pulau tersebut adalah PT Muara Wisesa Samudra, cucu usaha PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).
Dihubungi Rabu (10/1) manajemen APLN belum bisa memberikan komentar soal sikap perusahaan terkait kabar pencaputan HGB tersebut. “Kami masih pelajari dulu. Mungkin nanti ada rapat internal dulu,” ujar Indra Wijaya Antono, Wakil Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).
Dimuat Kontan, Gubernur DKI meminta BPN mencabut HGB dengan alasan Pemprov DKI melakukan kajian. Di kajian sementara ditemukan dugaan cacat prosedur. Hal ini termaktub dalam Surat Gubernur DKI Jakarta bernomor 2373/-1.794.2 bertanggal 29 Desember 2017. APLN menjadi pihak ketiga atau pengembang di Pulau G, salah satu pulau yang disebutkan dalam surat tersebut.
Berdasarkan laporan keuangan APLN per September 2017, jumlah tercatat aset reklamasi Pulau G adalah sebesar Rp 2,57 triliun. Selain itu, APLN juga mencatatkan aset reklamasi di Pulau I sebesar Rp 489,21 miliar, termasuk sebagai bagian dari tanah belum dikembangkan dalam akun aset real estat dalam laporan posisi keuangan konsolidasian interim pada tanggal 30 September 2017.
Sementara itu, DPRD DKI Jakarta menilai tindakan Gubernur Anies Baswedan yang meminta kepala BPN RI dapat berdampak pada ketidakpastian usaha dan investasi di Jakarta, hal itu hanya akan membuat investor takut berinvestasi di ibu kota.
Ketua DPRD Jakarta Prasetio Edi Marsudi meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak semena-mena dalam mengambil kebijakan. Dia mengkritik niatan Anies mencabut Hak Guna Bangunan pengembang di pulau reklamasi Jakarta Utara.
“Saran saya, Anies-Sandi ini sudahlah bekerja ke depan, soal reklamasi ini jangan semena-mena,” kata Prasetio saat dihubungi CNNIndonesia.com di Jakarta, Selasa (16/1).
Prasetio mengatakan HGB yang sudah diberikan kepada pihak pengembang sejak 2017 lalu itu sudah melalui prosedur yang pas.
“Pengembang ini dikasih HGB, enggak akan dapat kalau HPL (hak pengelolaan lahan) belum ada, dan itu dari pemerintah. Sudah pakai prosedur, bayar BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dulu. Penuhi semua prosedurnya,” ujar politikus PDIP tersebut.
Prasetio juga mengatakan, saat mengirimi surat ke pihak BPN, Anies sama sekali tidak memberikan pemberitahuan kepada DPRD sebagai legislatif.
Padahal, kata dia, dalam adab pemerintahan terdapat istilah eksekutif dan legislatif yang seharusnya tak dilangkahi dalam pengambilan kebijakan atau pun keputusan.
“Sekarang kalau saat ini ada istilahnya eksekutif legislatif, saya saja tidak mengerti. Kalau mau narik HGB kan harusnya ada tembusan dulu ke DPRD sebagai legislatif, supaya kami mengetahui. Ini kami tidak tahu. Tahu-tahu ramai di media, ini tahu-tahu main tarik saja,” kata Prasetio.
Pras dan Anies sebelumnya berkesempatan bertemu dalam agenda RPJMD yang dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri. Prasetyo mengaku sempat berdiskusi dengan Anies soal berbagai hal termasuk reklamasi.
Pras saat itu mengaku telah memberikan sejumlah saran kepada Anies yang ditanggapi dengan cukup antusias. “Eh, tapi sekarang tidak didengar satu pun, yo wes-lah, saya mah mau gimana lagi. Tidak dianggap,” katanya
Pras menyebut sikap Anies saat ini menimbulkan kebingungan untuk investor. “Kalau begini, investor bisa kabur,” pungkas Pras.
Selain itu, Anggota Komisi D (bidang pembangunan) DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus, tak sepakat dengan usulan Anies sebagai pemerintah daerah yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat.
“Pemerintah Daerah atau gubernur itukan perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk melaksanakan segala sesuatu. Terkait proyek itu, telah dilakukan kajian-kajian semua sudah, saya rasa wajiblah Gubernur menindaklanjuti apa yang menjadi program pemerintah,” kata Bestari saat dihubungi merdeka.com, Sabtu (13/1).
Sebaiknya, kata Bestari, jika memang pemerintah daerah melihat ada hal yang kurang benar, diluruskan saja dan jangan kemudian mengambil langkah-langkah yang terlalu jauh.
“Dibenah saja, jangan kemudian apa-apa langsung ambil langkah mencabut. Bukan berarti harus dicabut, benahi saja. Terbitkan lah izin segala macam, supaya berjalan beriringan. Apalagi raperda kan kemarin ditarik karena ada mau dilengkapi, diperbaiki dan diteliti,” jelasnya.
Dia memastikan raperda tersebut tidak dicabut atau dihentikan. Buktinya, masih masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2018.