Logo Reklamasi Pantura

Expert Opinion

Menata Persoalan Reklamasi Teluk Utara Jakarta

Menata Persoalan Reklamasi Teluk Utara Jakarta

Jakarta – Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menerbitkan Surat Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 yang berisi tentang izin pelaksanaan perluasan kawasan rekreasi Dufan (Dunia Fantasi) seluas lebih kurang 35 hektare (ha) dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol seluas sekitar 120 hektare.

Hal ini bukan pertama kalinya sejak masa Anies menjabat sebagai gubernur menerbitkan izin terkait reklamasi. Sebelumnya ia juga menerbitkan lebih dari 900 izin mendirikan bangunan atau IMB untuk bangunan di Pulau D.

Jika kini salah satu pendekatannya adalah fungsi dari reklamasi, maka hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Anies pada saat kampanye. Di panggung debat calon gubernur, Anies menyampaikan reklamasi akan berdampak buruk pada masyarakat, seperti nelayan.

Bahkan kala itu pendekatan yang dipergunakan Anies sangat prokonservatoris, yakni sangat meletakkan kepentingan konservasi dan lingkungan hidup diatas kepentingan lainnya. Jelas setelah menjabat sebagai gubernur, pendekatan yang dipergunakan Anies berbeda dengan pada saat kampanye.

Seperti halnya pada saat menerbitkan Surat Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 maupun menerbitkan lebih dari 900 IMB untuk bangunan di Pulau D pendekatan yang dipergunakan oleh Anies adalah pendekatan utilitas, yakni pendekatan manfaat dari reklamasi Teluk Jakarta itu sendiri.

Rudolf Kartz (2008), menjelaskan pendekatan utilitas menitikberatkan pada manfaat yang diperoleh dari suatu tindakan hukum bagi sebanyak mungkin orang. Seperti saat ini pada saat menerbitkan Kepgub tersebut salah satu alasan Anies adalah agar masyarakat luas dapat menikmati reklamasi, seperti misalnya dengan pembangunan museum keagamaan maupun tempat bermain bagi anak.

Hal ini nampak bahwa ia telah mengubah paradigmanya dari prokonservatoris menjadi utilitarianis. Masalah inkonsistensi ini yang kini banyak disoal oleh banyak pihak.

Konservatoris Versus Utilitarianis

Pada awal menjabat, Anies menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1409 Tahun 2018 yang mencabut izin 13 pulau reklamasi di Teluk Jakarta.

Kala itu keberadaan 13 pulau reklamasi dinilai bermasalah dari aspek lingkungan (ekologi), meskipun belakangan sikap Gubernur Anies melunak seperti dengan menerbitkan lebih dari 900 IMB untuk bangunan di Pulau D.

Dampak dari surat keputusan tersebut adalah gugatan ke pengadilan tata usaha negara dan pada akhirnya Mahkamah Agung melalui putusan nomor 227 K/TUN/2020 pada 4 Juni 2020 memutuskan menguatkan keputusan Gubernur DKI Jakarta karena reklamasi di Pantai Utara Jakarta dinilai menimbulkan persoalan secara ekologis sehingga berdampak bagi masyarakat sekitar.

Jika mengacu pada pendekatan yang dipergunakan Anies ketika menerbitkan surat keputusan adalah pendekatan konservasi dan aspek ekologis pada pelaksanaan reklamasi teluk Jakarta sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ada persoalan lingkungan pada proyek itu sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1409 Tahun 2018.

Kuhn (2000), menjelaskan implementasi asas hukum ‘in dubio pro natura’ yang artinya dalam keraguan maka kepentingan konservasi lingkungan harus didahulukan dan hal ini dipergunakan sebagai dasar Mahkamah Agung dalam memutus persoalan reklamasi sebagaimana tercantum dalam putusannya.

Artinya, jika kini reklamasi, sebagaimana terakhir dilaksanakan melalui Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 menggunakan pendekatan manfaat (utilitarianis) maka akan terjadi kontradiksi dengan aturan hukum yang ada sebelumnya maupun putusan pengadilan terkait dengan pelaksanaan reklamasi di teluk utara Jakarta.

Kini pelaksanaan reklamasi di kawasan rekreasi Dufan (Dunia Fantasi) dan Taman Impian Jaya Ancol mengandung risiko secara hukum, yakni jika diuji melalui pengadilan dan jika pengadilan konsisten bersikap sama dengan putusan nomor 227 K/TUN/2020 pada 4 Juni 2020 maka Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 akan rawan dibatalkan.

Konsistensi dan Kepastian Hukum

Mengacu pada pengalaman yang telah terjadi, sebenarnya reklamasi diatur sejak Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pada 1995, yakni reklamasi masuk dalam proyek strategis nasional sehingga diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dan di level operasional provinsi diterbitkan Peraturan Daerah DKI Nomor 8 Tahun 1995.

Demikian juga putusan nomor 12/PK/TUN/2011 MA menyatakan bahwa reklamasi sah, legal, dan tidak melanggar kaidah lingkungan sehingga reklamasi dapat dilanjutkan pembangunannya.

Sebaliknya, kini reklamasi (secara hukum) saling bertentangan satu sama lain, Misalnya, putusan Mahkamah Agung nomor 12/PK/TUN/2011 bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung nomor 227 K/TUN/2020, Keputusan Gubernur Nomor 1409 Tahun 2018 bertentangan dengan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 sehingga mengabaikan persoalan kepastian hukum terkait reklamasi di Teluk Jakarta.

Guna menata persoalan reklamasi di teluk utara Jakarta maka dalam hal ini perlu dikesampingkan ‘politisasi’ dari pelaksanaan reklamasi yang justru terbukti menciptakan ketidakpastian hukum.

Kelayakan reklamasi perlu diputuskan dan ditata melalui kebijakan tata ruang jangka panjang yang matang, demikian juga kebijakan tata ruang terkait reklamasi tersebut tentu mengakomodir kajian lingkungan sehingga kebijakan tata ruang yang tepat dapat menjadi pedoman bagi penyusunan payung hukum terkait pelaksanaan reklamasi atau pemberhentian dari reklamasi itu sendiri.

Tata ruang dan kepastian hukum menjadi fondasi penting untuk mengakhiri polemik terkait reklamasi itu sendiri.

Kebijakan tata ruang yang tepat akan menemukan kompromi antara prokonservasi dan pro-utilitarianis yang selama ini ditarik dalam dua ekstrem dan dipertentangkan untuk kepentingan politik yang justru merugikan masyarakat banyak.

Kebijakan tata ruang terkait reklamasi perlu mengacu pada hasil rekomendasi Badan Pengelolaan Pantai Utara (BKP-Pantura) dan dibarengi dengan adanya  Perda Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.

Dengan kebijakan tata ruang yang tepat maka orientasi dan kelayakan kegiatan reklamasi juga dapat ditentukan secara tepat. Demikian juga penting untuk adanya kepastian hukum terhadap kegiatan reklamasi itu sendiri.

 

Oleh: Rio Christiawan (Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria)

 

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul “Rio Christiawan : Menata Reklamasi Teluk Jakarta

Read more
Pengamat: Pembangunan Tanggul Laut Raksasa Harus Dilanjutkan

Pengamat: Pembangunan Tanggul Laut Raksasa Harus Dilanjutkan

Jakarta – Guna mencegah bahaya tenggelam akibat turunnya permukaan tanah dan semakin naiknya permukaan laut, rencana pembangunan proyek tanggul laut raksasa (giant sea wall) harus dilanjutkan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengamankan Jakarta dari bencana banjir. Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mesti mendukung program tersebut.

Proyek giant sea wall merupakan bagian dari Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Proyek ini sedang dikaji pemerintah pusat, dengan melibatkan sejumlah ahli dari Belanda, Korea Selatan, dan Jepang.

Untuk proyek NCICD, pemerintah sejak 2014 telah membangun tanggul pesisir pantai dan tanggul sungai di zona paling kritis. Panjang tanggul yang dibangun rencananya mencapai 120 Km. Khusus untuk giant sea wall di lepas pantai, panjangnya sekitar 35 km.

Berbeda dengan proyek NCICD yang terus berjalan, pembangunan giant sea wall masih dikaji. Tahun ini, kajian proyek tersebut ditargetkan rampung.

Mematangkan Kajian

Menurut Staf Khusus Menteri PUPR Firdaus Ali, saat ini Kementerian PUPR sedang mematangkan kajian pembangunan proyek giant sea wall. Kajian yang dimaksud, mencakup aspek teknis, lingkungan, sosial, dan pembiayaan.

“Kami sudah menuntaskan kajian aspek teknis, lingkungan, dan sosial, tinggal aspek pembiayaannya,” kata dia.

Firdaus menjelaskan, aspek pembiayaan sangat penting, karena proyek giant sea wall merupakan proyek pembangunan infrastruktur yang sifatnya massif dan membutuhkan biaya sangat besar.

“Tentu biayanya tidak bisa dibebankan kepada anggaran pusat atau daerah. Ini menjadi sangat krusial,” tandas dia.

Firdaus Ali menegaskan, pembangunan sistem atau pengamanan Jakarta tidak bisa ditawar-tawar lagi karena sudah sangat mendesak dan tidak ada pilihan lain.

“Kalau ada yang meragukan dan mengatakan kita tidak butuh sistem pengamanan ibu kota, khususnya dari ancaman tenggelam akibat permukaan tanah yang turun terus dan air laut yang naik signifikan, saya pikir sangat super naif, sebab tidak ada pilihan lain,” tandas dia.

Wilayah DKI Jakarta, kata Firdaus, terletak di kawasan pesisir. Selain itu, sebagian besar elevasi (ketinggian) kawasan pantai utara (pantura) Jakarta rata-rata sudah di bawah permukaan air laut.

“Kita tidak punya sistem pengamanan tanggul, sehingga Jakarta tidak akan aman. Kenapa? Karena tanahnya turun terus,” tutur dia.

Firdaus Ali mengungkapkan, untuk mengamankan Jakarta dalam jangka panjang hingga ratusan tahun ke depan, pemerintah harus membangun megastruktur di lepas pantai.

“Tanggul laut yang dikenal sebagai giant sea wall akan bersifat multifungsi, tidak hanya tanggul semata, tapi juga mencakup water front city area,” ucap Firdaus.

Para pengembang, menurut Firdaus, bisa memanfaatkan kawasan tersebut.

“Nanti ada jalur transortasinya, utility-nya lengkap,” ucap dia.

Kecuali itu, kata dia, pembangunan giant sea wall akan tetap menjaga komunitas nelayan dan kearifan lokal di pesisir Jakarta.

“Nanti di kiri dan kanan ada dua perkampungan nelayan modern dan terpadu. Ada sekolah anak nelayan, ada penambat kapal nelayan, dan semuanya dibuat perfect sekali. Semua ini bagian rencana giant sea wall,” papar dia.

Perihal anggaran NCIDC, Firdaus mengatakan, anggarannya disesuaikan dengan tahapan-tahapan pembangunannya.

“Tahapan pertama atau A adalah memperkuat tanggul pantai dengan sungai di muara. Ini yang sekarang dikerjakan, tapi belum tuntas sepenuhnya,” ujar dia.

Selanjutnya, menurut dia, adalah tahap B, yaitu pembangunan tanggul lepas pantai, kemudian tahap C pembangunan tanggul di lepas pantai sebelah timur.

“Ini perlu dimatangkan, sebab biayanya sangat besar karena bukan hanya membangun tanggul, melainkan juga membangun daratan,” tutur dia.

Dia menambahkan, dalam proyek tersebut bakal dibangun ada bendungan lepas pantai dan sistem sanitasi.

“Tidak mungkin kan limbah masuk ke Teluk Jakarta lagi. Kita akan punya 15-16 zona pengelolaahn limbah domestik,” ujar dia.

Firdaus menjelaskan, masing-masing propek di NCIDC dan giant sea wall bakal diintergrasikan.

“Jadi, jika pembangunan tanggul diselesaikan seluruhnya, Jakarta akan jauh lebih baik dibandingkan saat ini. Jika pada 2024 ibu kota negara dipindah, Jakarta akan jauh lebih hebat,” tegas dia.

Firdaus Ali mengakui, penanggung jawab pembangunan giant sea wall berikut anggarannya terdiri atas tiga pihak. Pertama, pemerintah pusat melalui Balai Besar Ciliwung-Cisadane. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta melalui APBD.

“Yang menjadi domain pemerintah pusat mencapai 4.600 meter, itu total. Sudah kami kerjakan 4.500 meter. Ini untuk mengamankan sementara. Kami berpacu dengan waktu,” kata dia.

Penurunan Tanah

Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengungkapkan, Jakarta mengalami penurunan struktur tanah secara terus-menerus. Di sisi lain, permukaan air laut terus naik.

“Fakta ini tidak bisa ditolak. Ada kebutuhan air baku yang makin lama semakin meningkat. Bahkan, ada zona merah tidak boleh mengambil air tanah yang tetap harus ada izin karena sudah ada pengendalian,” kata dia.

Dengan fakta-fakta tersebut, menurut dia, tak ada alasan untuk menolak pembangunan NCIDC dan giant sea wall.

“Realitas yang harus dihadapi setiap musim penghujan, seperti pada awal tahun baru kemarin, kota Jakarta mengalami kerugian sampai Rp 1 triliun,” ujar dia.

DKI Jakarta, kata Yayat, terus- menerus berada dalam ancaman tenggelam akibat naiknya permukaan laut dan turunnya permukaan tanah.

“Kita harus ingat saudara-saudara kita di pesisir Jakarta, mereka hidup dalam kualitas rendah. Bayangkan, setiap hari lingkungan mereka selalu tergenang saat rob terjadi. Apakah itu akan terus dibiarkan?!” tandas dia.

Dengan kata lain, menurut Yayat Supriatna, pembangunan NCIDC dan giant sea wall adalah opsi yang tak terhindarkan.

“Kalau dibawa ke arah politis repot, karena politis tidak menyelesaikan persoalan,” ucap dia.

Yayat mengakui, wilayah DKI Jakarta memiliki ‘cacat bawaan’ berupa 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.

“Kita berada di tataran banjir. Sedimentasinya tinggi, sedangkan hulunya dalam kondisi kurang terjaga. Memilih Jakarta sebagai ibu kota negara kan juga bukan karen pilihan, melainkan karena warisan. Kita sebenarnya mewarisi kota yang sudah punya masalah sejak dulu,” papar dia.

Read more
Mengawal Penyelesaian Reklamasi

Mengawal Penyelesaian Reklamasi

Oleh: Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., (Advokat dan Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya).

Jakarta – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya mencabut izin 13 pulau reklamasi sesuai dengan janji politiknya saat kampanye pemilihan gubernur. Pencabutan tersebut dilaksanakan melalui keputusan gubernur dan surat gubernur.

Masalahnya, bagaimana kepastian hukum terhadap kelanjutan investasi yang proyeksi peruntukannya telah dimulai sejak era Orde Baru tersebut?

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pada 1995, reklamasi masuk dalam proyek strategis nasional sehingga diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995, dan di level operasional provinsi diterbitkan Peraturan Daerah DKI Nomor 8 Tahun 1995.

Perdebatan mengenai kelayakan reklamasi ini telah diputus oleh Mahkamah Agung (MA) hingga tingkat peninjauan kembali pada 2011. MA menyatakan bahwa reklamasi sah dan tidak melanggar kaidah lingkungan sehingga dapat dilanjutkan pembangunannya.

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum tertinggi sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk membatalkan reklamasi.

Jika reklamasi hendak dibatalkan, pemerintah harus mengganti semua norma hukum yang melandasi kegiatan reklamasi.

Persoalannya, saat ini reklamasi hanya dibatalkan melalui keputusan gubernur dan surat gubernur yang hanya berdampak pada subyeknya, yakni penerima manfaat kegiatan reklamasi, tidak pada obyeknya, yaitu kegiatan reklamasi. Maka, masih ada kemungkinan pihak lain melakukan reklamasi, yang pada akhirnya bertentangan dengan semangat mengakhiri kegiatan reklamasi di Jakarta.

Kegiatan reklamasi di pantai Jakarta ini sebetulnya melibatkan keputusan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembatalannya tidak cukup hanya dengan keputusan eksekutif setingkat gubernur.

Bila Pemerintah DKI menyimpulkan bahwa reklamasi tidak diperlukan, Gubernur DKI harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan parlemen pusat serta daerah untuk membahas masalah ini. Jika disetujui, kegiatan reklamasi dapat dibatalkan melalui peraturan perundangundangan.

Jika langkah pemerintah DKI hanya berhenti sampai pada keputusan gubernur, keputusan itu akan rawan digugat melalui peradilan tata usaha negara. Keputusan itu dapat dinilai tidak sempurna karena tak membatalkan obyek reklamasi, sehingga bersifat subyektif.

Gubernur dapat dipandang berlaku sewenangwenang, karena reklamasi telah dikukuhkan melalui putusan MA. Sekalipun pembatalan reklamasi ini bertujuan baik, perlu dilakukan dengan konstruksi hukum yang patut.

Dilema yang dihadapi pemerintah DKI adalah menangani pulau-pulau reklamasi yang telah telanjur dibangun. Pemerintah tidak dapat sertamerta menghentikan pembangunan atau mengubah peruntukannya, karena para pemegang hak telah memperoleh izin.

Bagir Manan (2008) mendefinisikan izin sebagai suatu persetujuan dari pemerintah selaku penguasa berdasarkan peraturan perundangundangan untuk memperbolehkan suatu tindakan atau perbuatan tertentu yang dilarang.

Dalam konteks pembatalan keputusan reklamasi, tindakan korektif harus menimbang asas kepastian hukum dan kepentingan umum.

Setelah keputusan gubernur mengenai pembatalan reklamasi terbit, tindak lanjut pada area yang telah dibangun belum ditentukan. Area itu hanya disebut akan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Idealnya, area tersebut banyak mengakomodasi fasilitas umum dan fasilitas sosial yang bermanfaat untuk masyarakat luas sehingga tujuan keadilan korektif dapat dicapai.

Untuk area yang belum dibangun, pemerintah dan lembaga legislatif perlu merevisi Peraturan Daerah Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sehingga ketelanjuran tidak terulang.

Ini juga menyelaraskan keputusan gubernur sebagai eksekutif dan unsur legislatif, sehingga keputusan reklamasi benar-benar obyektif. Keadilan korektif harus diutamakan di balik setiap penerbitan keputusan eksekutif ataupun legislatif guna membawa bangsa ke arah yang lebih baik.

Read more
Benarkah Ditahun 2050 Jakarta Utara Tenggelam? Ini Penjelasannya!

Benarkah Ditahun 2050 Jakarta Utara Tenggelam? Ini Penjelasannya!

JAKARTA memiliki jumlah penduduk mencapai 10 juta jiwa, jumlah ini jauh berbeda dengan kota Surabaya yang menduduki peringkat kedua untuk jumlah penduduk yang hanya 2,8 juta jiwa. Namun, penduduk yang menggantungkan hidupnya di Jakarta ini terancam kehilangan tempat tinggal. Hal ini disebabkan Jakarta diramalkan akan tenggelam di tahun 2050!

Apakah ramalan itu hanya sekadar ancaman saja ataukah bisa benar-benar terjadi? Berikut adalah ulasannya secara ilmiah!

1. Tanda-tanda sudah mulai terlihat

BBC/Mayuri Mei Lin & Rafki Hidayat

BBC/Mayuri Mei Lin & Rafki Hidayat

Seperti dilansir dari BBC, Heri Andreas yang sudah mempelajari daratan Jakarta selama 10 tahun di Institut Teknologi Bandung (ITB) menjelaskan bahwa potensi tenggelamnya Jakarta adalah hal yang harus dipikirkan dan diantisipasi dengan serius. Heri melanjutkan, ”Jika dilihat dari model daratan Jakarta, pada 2050 Jakarta sudah tenggelam sebanyak 95%”.

Tanda-tanda tenggelamnya Jakarta sudah mulai terlihat. Saat ini, Jakarta Utara sudah tenggelam sebanyak 2,5 meter dalam 10 tahun dan terus tenggelam sebanyak 25 cm setiap tahunnya. Kecepatan tenggelam yang dialami di Jakarta adalah dua kali lebih cepat dibanding rerata kota-kota besar di dunia.

Sebagai bukti paling ekstrim, salah satu bangunan berlantai dua di daerah Muara Baru hanya tersisa satu lantai saja. Hal ini karena lantai satu bangunan ini sudah tenggelam ke dalam tanah dan dipenuhi oleh air.

Bukan hanya Jakarta Utara, daerah Jakarta lain juga mengalami penurunan level tanah. Jakarta Barat menurun sebanyak 15 cm setiap tahun, Jakarta Timur 10 tahun, Jakarta Pusat 2 tahun, dan Jakarta Selatan 1 cm.

2. Pembangunan properti turut memperparah kondisi

BBC/Mayuri Mei Lin & Rafki Hidayat

BBC/Mayuri Mei Lin & Rafki Hidayat

Pengaruh merosoknya tanah sangat dirasakan oleh penduduk yang tinggal di pinggir pantai Jakarta Utara. Kepada BBC, para penduduk mengatakan bahwa air pasang selalu meningkat sekitar 5 cm setiap tahun.

Namun, hal ini tidak menggoyahkan para developer properti . Setiap tahun, selalu ada apartemen, hotel, ataupun perumahan yang dibangun di Jakarta Utara padahal hal ini mempercepat penurunan level tanah. Padahal semakin banyak properti justru akan mempercepat tenggelamnya Jakarta.

Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengurangi pembangunan properti di Jakarta Utara. Kepala Dewan Penasehat Asosiasi Pengembangan Properti Indonesia, Eddy Ganefo, sudah berusaha meminta pemerintah agar menghentikan pembangunan properti di Jakarta Utara. Namun, Eddy mengatakan, “selama apartemen tersebut bisa terjual, pembangunan pasti akan terus dilakukan”.

3. Disebabkan oleh penggunaan air tanah secara berlebihan

Menurunnya ketinggian tanah di Jakarta diakibatkan secara mayoritas oleh penggunaan air tanah secara berlebihan. Air tanah ini digunakan untuk air minum, mandi, dan kegiatan lainnya. Namun, semakin banyak air dipompa, tanah yang berada diatasnya juga akan ikut menurun.

Cepatnya penurunan tanah di Jakarta disebabkan juga oleh kurangnya akses masyarakat terhadap air ledeng sehingga sebanyak 60% masyarakat Jakarta harus bergantung dengan air tanah. Hal ini diperparah juga dengan undang-undang yang mengizinkan semua warga, termasuk industri dan pusat perbelanjaan, untuk menggunakan air tanah.

Kondisi ini tidak dapat dihindarkan, pasalnya pihak penyedia air bersih hanya bisa menyediakan air yang cukup untuk 40% penduduknya saja. Hal ini membuat warga tidak punya pilihan lain selain menggunakan air tanah.

4. Kondisi diperparah oleh pemanasan global

Es Kutub Utara terus mencair via http://thingpic.com

Es Kutub Utara terus mencair via http://thingpic.com

Saat ini, pemanasan global yang tidak terkendali menyebabkan naiknya ketinggian laut dan berdampak pada hampir seluruh negara, tidak hanya Indonesia. Pemanasan global menyebabkan mencairnya es di kutub Utara dan Selatan sehingga level laut pun meningkat.

Menurunnya permukaan tanah dan meningkatnya ketinggian permukaan laun, membuat para peneliti meramalkan bahwa Jakarta akan tenggelam di tahun 2050 nanti.

5. Menemukan sumber air baru adalah solusi terbaik

Pencemaran di Teluk Jakarta. (Foto: Trubus.id / Binsar Marulitua )

Pencemaran di Teluk Jakarta. (Foto: Trubus.id/Binsar Marulitua)

Saat ini, sea wall sepanjang 32 km dan reklamasi tengah dilakukan untuk mencegah Jakarta tenggelam di tahun 2050 nanti. Namun, seorang hidrologis dari Belanda, Jan Jaap Brinkman, mengatakan bahwa solusi terbaik adalah mengurangi pemakaian air tanah dan menggantinya dengan sumber air lain.

Akan tetapi, kondisi sungai di Jakarta kebanyakan sudah kotor dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dibersihkan. Meski sulit, hal ini wajib dilakukan agar Jakarta tidak tenggelam di tahun 2050 nanti.

Sumber: Idntimes.com

Read more
Berpamitan dengan Anies, Sandi Tinggalkan Sejuta Persoalan

Berpamitan dengan Anies, Sandi Tinggalkan Sejuta Persoalan

Sandiaga Uno memeluk Anies Baswedan saat dirinya berpamitan dan meminta doa-restu untuk maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto pada Pilpres, April 2019 mendatang./Foto: Twitter Sandiaga Uno.

JAKARTA – Kurang dari sepuluh bulan bekerja mendampingi Anies Baswedan memimpin Jakarta, Sandiaga Salahuddin Uno atau biasa disapa Sandi, mantan politisi partai Gerindra ini maju mendampingi Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada Pemilu Presiden 2019 mendatang.

Setelah dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 16 Oktober 2017 lalu, Sandi bersama Anies membuat sejumlah program. Dilansir dari situs Jakartamajubersama, mereka berdua membuat program kerja untuk warga Jakarta, diantaranya revisi Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar; pembukaan 200.000 lapangan kerja baru; mencapai ketahanan pangan; pemberdayaan perempuan; penghentian proyek reklamasi teluk Jakarta; rumah DP 0 rupiah, biaya hidup terjangkau; hingga program menghijaukan Jakarta.

Dari sekian program yang telah disusun, beberapa di antaranya sudah terealisasi, meski pengamat menilai cenderung memaksakan diri. Misalnya, pada pengesahan pembangunan rumah DP 0 rupiah di Kelurahan Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (28/2) lalu. Anies dan Sandi menolak untuk hadir, meski sebelumnya telah mengumumkan akan ikut merilis perumahan tersebut.

Anggota DPRD DKI Jakarta Bestari Barus menilai, dibatalkannya peresmian rumah DP 0 rupiah oleh Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan tanda tidak matangnya program tersebut digulirkan.

Politisi Partai Nasdem ini juga mengingatkan, “Warga tak boleh gegabah dan terbuai promosi dari program rumah yang digadang Anies-Sandi sejak kampanye itu,” Kata Bestari seperti dikutip dari Alinea.id, Rabu (10/8/2018).

Terlebih, Bestari mengatakan, perangkat pendukung pelaksanaan program tersebut belum ada. Seperti payung hukum yang mendasari pelaksanaan program tersebut. Kemudian, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang akan mengatur pembelian rumah DP 0 rupiah. Serta, skema pembayaran cicilan rumah DP 0 rupiah belum ada juga.

Contoh lain, penghentian reklamasi lahan di Jakarta juga urung dilakukan keduanya. Anies dan Sandi yang sedari awal menolak reklamasi, Juni 2018 justru menggulirkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Kendati tak melakukan pembongkaran, tapi hanya melakukan penyegelan bangunan di salah satu pulau hasil reklamasi, yakni Pulau D, belakangan Anies-Sandi ternyata memutuskan untuk melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Sementara itu, aktivis sosial dari Komunitas Pemerhati Pembangunan Kota (KP2K) Duy Nurdiansyah menilai, apa yang dilakukan Gubernur Anies Baswedan melalui Pergub tersebut sebagai langkah yang tepat.

Menurut Duy, reklamasi di Pantura Jakarta memang harus dilaksanakan. “Bukan hanya karena secara legal itu adalah amanat keppres, tapi juga karena kebutuhan Jakarta sebagai ibukota negara yang terus berkembang,” ujar aktivis muda ini.

Reklamasi, menurut Duy, adalah hal yang lazim dilakukan oleh permerintah di berbagai negara. Pertengahan abad 21 ini diperkirakan sekitar 70 persen populasi dunia akan tinggal di lingkungan perkotaan. Sedangkan Jakarta dengan luas yang hanya 662 km persegi, tidak akan mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang diprediksi akan terus meningkat.

“Hal ini akan berdampak besar pada masyarakat perkotaan, khususnya kota-kota di pesisir pantai seperti kota Jakarta yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi,” jelas Duy.

Terlebih, kata Duy, Jakarta saat ini sudah tak bisa lagi dikembangkan ke wilayah lain, selain ke arah utara Jakarta. Ke timur, barat, dan selatan sudah merupakan wilayah lain yang juga memiliki problematika tersendiri. Satu-satunya pilihan adalah ke pantai utara Jakarta.

Dia mengatakan, tujuan reklamasi di pantai utara Jakarta bukan sekadar untuk merestorasi kawasan teluk yang telah rusak dan tercemar. Tapi juga untuk merevitalisasi wilayah utara Jakarta agar menjadi jauh lebih baik dan lebih menarik. Di samping itu, reklamasi juga bisa memperluas wilayah daratan ibukota sebagai salah satu antisipasi terhadap masalah kependudukan sekaligus strategi redistribusi sebaran populasi.

Yang tak kalah penting, penataan kawasan pantai utara Jakarta akan memodernisasi ibukota sebagai “one of The Great Waterfront City”. Sejajar dengan kota-kota besar dunia yang memiliki tepian pantai yang indah.

Duy menambahkan, siapa pun yang ada dalam pemerintahan, pasti memahami kondisi ini. Keterbatasan geografis dan kelangkaan lahan di daerah pesisir biasanya akan mendorong perluasan batas kota administratif ke arah laut.

Jadi, sangat wajar jika reklamasi lahan menjadi alat yang populer bagi banyak pemerintahan negara-negara atau kota yang memiliki pantai. “Saya yakin, gubernur Anies memahami ini,” ujarnya.

Sayangnya, kata Duy, hingga saat ini pelaksanaan reklamasi di Teluk Jakarta masih terkendala oleh hal-hal nonteknis yang bersifat klasik, terkait politik. Barangkali, hal ini terjadi karena isu reklamasi bisa menjadi komoditas politik yang signifikan.

“Pemerintah DKI seharusnya tidak ragu lagi untuk melanjutkan kembali proses reklamasi pantura yang saat ini terhenti. Jika dilanjutkan dan segera terwujud, kontribusinya bagi pembangunan Jakarta dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir akan sangat besar.” Pungkas Duy.

Read more