Logo Reklamasi Pantura

Mencari Solusi dari Ancaman Jakarta Tenggelam 2050

Mencari Solusi dari Ancaman Jakarta Tenggelam 2050

Oleh:

JAKARTA TERANCAM tenggelam dalam 30 tahun ke depan tidak bisa diabaikan. Penggunaan air tanah yang begitu masif menjadi penyebab utama penurunan muka tanah yang tidak hanya akan terjadi di Jakarta Utara saja, melainkan ke seluruh wilayah DKI Jakarta.

Sebuah penelitian yang dilakukan tim geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) menghitung adanya penurunan tanah setinggi 25 sentimeter (cm) setiap tahun, khususnya di wilayah-wilayah “basah” seperti Jakarta Utara.

Sementara, penurunan untuk wilayah Jakarta Barat adalah 15 cm, Jakarta Timur dengan 10 cm, Jakarta Pusat dengan 2 cm, dan Jakarta Selatan dengan 1 cm.

“Ini adalah salah satu penurunan tanah terbesar di dunia. Kita bayangkan dalam 10 tahun penurunannya mencapai 2,5 meter,” ucap Heri Andreas, salah satu peneliti yang menjadi bagian dalam investigasi BBC Indonesia selama enam bulan terakhir.

Persoalannya kembali pada kemampuan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang hanya mampu memenuhi 40 persen kebutuhan air bersih, yang juga dikonsumsi warga DKI. Sementara, sisa 60 persennya harus dipenuhi sendiri oleh warga dengan memompa air dari bumi yang lebih dalam.

Heri menemukan, saat ini tak sedikit warga yang memompa air tanah dalam karena air yang terdapat pada permukaan dangkal sudah tidak dapat dikonsumsi akibat tercemar. Bahkan perilaku ini bukan hanya terjadi oleh rumah tangga saja, melainkan juga pengelola gedung-gedung bertingkat.

Penelitian semacam ini sebenarnya bukan baru. Lima tahun silam, saat Presiden Joko “Jokowi” Widodo masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, isu ini sudah muncul. Saat itu, pemerintah akhirnya sepakat menyusun rencana pembangunan proyek tanggul raksasa National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau giant sea wall di mulut-mulut Jakarta Utara.

Proyek ini tak menjadi tanggungan Pemprov DKI sendiri. Bersama dengan sejumlah kementerian, Pemprov DKI menjadi kepala proyek ini dengan turut melibatkan pihak swasta dari Jepang. Peletakan batu pertama dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Chairul Tanjung, pada 9 Oktober 2014.

Setelah peletakan batu pertama, proyek ini mandek. Ketika Jokowi naik sebagai presiden, proyek ini kembali dilanjutkan. Tahun 2016, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro diminta melakukan kajian ulang untuk mengukur kemampuan tanggul raksasa ini menangkal ancaman banjir.

Medio 2016, Bambang mengumumkan megaproyek ini dilanjutkan melalui tiga tahap. Pertama, meninggikan dan menguatkan tanggul laut utara sepanjang 52 km, termasuk dengan menggarap proyek 17 pulau reklamasi.

Kedua, pembangunan tanggul terluar. Ketiga, pembangunan tanggul di sisi timur Jakarta. Total nilai megaproyek diperkirakan mencapai Rp500 triliun.

Kajian rampung dan sumber pendanaan yang sudah terukur tak menjamin kelancaran proyek ini. Awal 2017, proyek kembali mandek lantaran sengketa proyek pembangunan pulau reklamasi kembali berlanjut.

Kendati begitu, banyak pihak yang mensyukuri penundaan pembangunan proyek ini. Alasannya sederhana, proyek ini bukan jalan keluar dari persoalan penggunaan air tanah yang menjadi penyebab turunnya muka tanah di Jakarta.

“Pada saat bersamaan, pemerintah membangun penghalang yang tinggi untuk air mengalir ke laut,” ucap Ahmad Marthin Hadiwinata, anggota Serikat Nelayan Tradisional Indonesia kepada Reuters, Agustus 2017.

Jan Sopaheluwakan, pakar geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menilai sebaiknya pemerintah melakukan pembugaran kota terlebih dahulu sebelum mengerjakan tanggul raksasa. Sebab, akan percuma jika tanggul raksasa sudah dibangun namun penyedotan air terus dilakukan tanpa kontrol.

“Solusi terbaik adalah membuka kembali ruang hijau di wilayah selatan dan ruang biru di wilayah utara,” kata Jan kepada Tirto.id.

Ruang terbuka biru adalah ruang-ruang yang digunakan untuk pembangunan dan revitalisasi situ, danau, sungai, waduk, dan bendungan untuk menangkap air. Sementara ruang terbuka hijau seperti taman dan sumber sumur resapan lainnya.

Februari 2018, Pemprov DKI Jakarta mengumumkan anggaran Rp1,95 triliun yang dikhususkan untuk pembebasan serta revitalisasi lahan di ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) di Jakarta.

Anggaran tersebut dibutuhkan untuk meningkatkan luasan RTH yang saat ini baru mencapai 30,3 juta meter persegi. Targetnya, setiap tahun akan ada 50 hektare lahan yang dibebaskan untuk tujuan ini.

Selain itu, Pemprov DKI belakangan juga gencar melakukan inspeksi gedung-gedung bertingkat di Jakarta untuk menindaklanjuti laporan pelanggaran sumur resapan di areanya tersebut.

Pemprov DKI bahkan dengan tegas memberikan sanksi pencabutan izin operasional bagi gedung yang tak memperbaiki bangunan gedung yang meliputi tiga aspek: penyediaan sumur resapan, instalasi pengelohan air limbah (IPAL), dan pemanfaatan air tanah; dalam jangka waktu satu bulan setelah sanksi teguran dijatuhkan.

Upaya untuk merevitalisasi sumber air di Jakarta juga dilakukan Jokowi melalui janjinya membersihkan sungai Citarum. Dengan biaya proyek yang mencapai Rp1,59 triliun, Jokowi menjanjikan Citarum bisa menjadi sumber air minum dalam tujuh tahun ke depan.

Di luar dari itu, pemerintah juga ditantang untuk mampu mengelola sumber air lainnya, seperti air hujan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah pernah merancang sistem pemanfaatan air hujan (SPAH) yang bisa digunakan untuk pengolahan air siap minum (ARSINUM). Namun tidak jelas, apakah rancangan ini sudah disosialisasikan secara luas atau belum. [me]

Prev
Next

Leave a facebook comment