Logo Reklamasi Pantura

Pengamat: Pembangunan Tanggul Laut Raksasa Harus Dilanjutkan

Pengamat: Pembangunan Tanggul Laut Raksasa Harus Dilanjutkan

Jakarta – Guna mencegah bahaya tenggelam akibat turunnya permukaan tanah dan semakin naiknya permukaan laut, rencana pembangunan proyek tanggul laut raksasa (giant sea wall) harus dilanjutkan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengamankan Jakarta dari bencana banjir. Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mesti mendukung program tersebut.

Proyek giant sea wall merupakan bagian dari Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Proyek ini sedang dikaji pemerintah pusat, dengan melibatkan sejumlah ahli dari Belanda, Korea Selatan, dan Jepang.

Untuk proyek NCICD, pemerintah sejak 2014 telah membangun tanggul pesisir pantai dan tanggul sungai di zona paling kritis. Panjang tanggul yang dibangun rencananya mencapai 120 Km. Khusus untuk giant sea wall di lepas pantai, panjangnya sekitar 35 km.

Berbeda dengan proyek NCICD yang terus berjalan, pembangunan giant sea wall masih dikaji. Tahun ini, kajian proyek tersebut ditargetkan rampung.

Mematangkan Kajian

Menurut Staf Khusus Menteri PUPR Firdaus Ali, saat ini Kementerian PUPR sedang mematangkan kajian pembangunan proyek giant sea wall. Kajian yang dimaksud, mencakup aspek teknis, lingkungan, sosial, dan pembiayaan.

“Kami sudah menuntaskan kajian aspek teknis, lingkungan, dan sosial, tinggal aspek pembiayaannya,” kata dia.

Firdaus menjelaskan, aspek pembiayaan sangat penting, karena proyek giant sea wall merupakan proyek pembangunan infrastruktur yang sifatnya massif dan membutuhkan biaya sangat besar.

“Tentu biayanya tidak bisa dibebankan kepada anggaran pusat atau daerah. Ini menjadi sangat krusial,” tandas dia.

Firdaus Ali menegaskan, pembangunan sistem atau pengamanan Jakarta tidak bisa ditawar-tawar lagi karena sudah sangat mendesak dan tidak ada pilihan lain.

“Kalau ada yang meragukan dan mengatakan kita tidak butuh sistem pengamanan ibu kota, khususnya dari ancaman tenggelam akibat permukaan tanah yang turun terus dan air laut yang naik signifikan, saya pikir sangat super naif, sebab tidak ada pilihan lain,” tandas dia.

Wilayah DKI Jakarta, kata Firdaus, terletak di kawasan pesisir. Selain itu, sebagian besar elevasi (ketinggian) kawasan pantai utara (pantura) Jakarta rata-rata sudah di bawah permukaan air laut.

“Kita tidak punya sistem pengamanan tanggul, sehingga Jakarta tidak akan aman. Kenapa? Karena tanahnya turun terus,” tutur dia.

Firdaus Ali mengungkapkan, untuk mengamankan Jakarta dalam jangka panjang hingga ratusan tahun ke depan, pemerintah harus membangun megastruktur di lepas pantai.

“Tanggul laut yang dikenal sebagai giant sea wall akan bersifat multifungsi, tidak hanya tanggul semata, tapi juga mencakup water front city area,” ucap Firdaus.

Para pengembang, menurut Firdaus, bisa memanfaatkan kawasan tersebut.

“Nanti ada jalur transortasinya, utility-nya lengkap,” ucap dia.

Kecuali itu, kata dia, pembangunan giant sea wall akan tetap menjaga komunitas nelayan dan kearifan lokal di pesisir Jakarta.

“Nanti di kiri dan kanan ada dua perkampungan nelayan modern dan terpadu. Ada sekolah anak nelayan, ada penambat kapal nelayan, dan semuanya dibuat perfect sekali. Semua ini bagian rencana giant sea wall,” papar dia.

Perihal anggaran NCIDC, Firdaus mengatakan, anggarannya disesuaikan dengan tahapan-tahapan pembangunannya.

“Tahapan pertama atau A adalah memperkuat tanggul pantai dengan sungai di muara. Ini yang sekarang dikerjakan, tapi belum tuntas sepenuhnya,” ujar dia.

Selanjutnya, menurut dia, adalah tahap B, yaitu pembangunan tanggul lepas pantai, kemudian tahap C pembangunan tanggul di lepas pantai sebelah timur.

“Ini perlu dimatangkan, sebab biayanya sangat besar karena bukan hanya membangun tanggul, melainkan juga membangun daratan,” tutur dia.

Dia menambahkan, dalam proyek tersebut bakal dibangun ada bendungan lepas pantai dan sistem sanitasi.

“Tidak mungkin kan limbah masuk ke Teluk Jakarta lagi. Kita akan punya 15-16 zona pengelolaahn limbah domestik,” ujar dia.

Firdaus menjelaskan, masing-masing propek di NCIDC dan giant sea wall bakal diintergrasikan.

“Jadi, jika pembangunan tanggul diselesaikan seluruhnya, Jakarta akan jauh lebih baik dibandingkan saat ini. Jika pada 2024 ibu kota negara dipindah, Jakarta akan jauh lebih hebat,” tegas dia.

Firdaus Ali mengakui, penanggung jawab pembangunan giant sea wall berikut anggarannya terdiri atas tiga pihak. Pertama, pemerintah pusat melalui Balai Besar Ciliwung-Cisadane. Kemudian, Pemprov DKI Jakarta melalui APBD.

“Yang menjadi domain pemerintah pusat mencapai 4.600 meter, itu total. Sudah kami kerjakan 4.500 meter. Ini untuk mengamankan sementara. Kami berpacu dengan waktu,” kata dia.

Penurunan Tanah

Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengungkapkan, Jakarta mengalami penurunan struktur tanah secara terus-menerus. Di sisi lain, permukaan air laut terus naik.

“Fakta ini tidak bisa ditolak. Ada kebutuhan air baku yang makin lama semakin meningkat. Bahkan, ada zona merah tidak boleh mengambil air tanah yang tetap harus ada izin karena sudah ada pengendalian,” kata dia.

Dengan fakta-fakta tersebut, menurut dia, tak ada alasan untuk menolak pembangunan NCIDC dan giant sea wall.

“Realitas yang harus dihadapi setiap musim penghujan, seperti pada awal tahun baru kemarin, kota Jakarta mengalami kerugian sampai Rp 1 triliun,” ujar dia.

DKI Jakarta, kata Yayat, terus- menerus berada dalam ancaman tenggelam akibat naiknya permukaan laut dan turunnya permukaan tanah.

“Kita harus ingat saudara-saudara kita di pesisir Jakarta, mereka hidup dalam kualitas rendah. Bayangkan, setiap hari lingkungan mereka selalu tergenang saat rob terjadi. Apakah itu akan terus dibiarkan?!” tandas dia.

Dengan kata lain, menurut Yayat Supriatna, pembangunan NCIDC dan giant sea wall adalah opsi yang tak terhindarkan.

“Kalau dibawa ke arah politis repot, karena politis tidak menyelesaikan persoalan,” ucap dia.

Yayat mengakui, wilayah DKI Jakarta memiliki ‘cacat bawaan’ berupa 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.

“Kita berada di tataran banjir. Sedimentasinya tinggi, sedangkan hulunya dalam kondisi kurang terjaga. Memilih Jakarta sebagai ibu kota negara kan juga bukan karen pilihan, melainkan karena warisan. Kita sebenarnya mewarisi kota yang sudah punya masalah sejak dulu,” papar dia.

Prev
Next

Leave a facebook comment