Logo Reklamasi Pantura

Harus Dilihat Secara Luas, Reklamasi Dinilai Bukan Hal yang Tabu

Jakarta – Polemik reklamasi teluk Jakarta yang tersandung masalah hukum dan berujung pada moratorium reklamasi, menjadi perhatian besar bagi masyarakat. Tak sedikit yang menilai, reklamasi adalah sesuatu yang dinilai negatif atau tabu untuk dilakukan. Padahal, seharusnya persoalan reklamasi harus di lihat secara luas yaitu upaya melakukan revitalisasi daerah menjadi lebih baik.

Antropolog Universitas Indonesia (UI) yang juga Staf Khusus Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya, Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir, mengatakan, persoalan reklamasi pantai harus dilihat secara luas. Terlebih, kata dia, reklamasi sendiri tidak bisa dihindari ditengah ancaman perubahan alam (climate change).

“Reklamasi bisa menjadi penawar bagi daerah agar menjadi lebih baik lagi. Asal dengan aturan yang berlaku dan sesuai dengan analisis dampak lingkungan atau amdal,” ujarnya dalam acara diskusi “Menilik Reklamasi Sebagai Bagian Ketahanan Lingkungan Nasional” di Jakarta, Selasa (10/5).

Selain itu, kata Nurmala, reklamasi tidak boleh ditujukan untuk kepentingan pribadi atau golongan saja. Untuk itu, keberadaan amdal dalam proyek ini sangat dibutuhkan. Sehingga dampak sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap masyarakat dapat segera diketahui begitu proyek ini dijalankan.

Solusi Aturan Reklamasi

Hal senada juga diungkapkan ahli tata ruang Hendricus Andy Simarmata. Menurutnya, tumpang tindih aturan reklamasi antara pemerintah pusat dan daerah harus segera dicarikan solusi.

“Apalagi, aturan mengenai reklamasi yang sudah hadir sejak tahun 1995 bergerak dinamis. Tentunya, harus disesuaikan dengan tuntutan jaman,” katanya.

Sementara itu, pengamat politik, Damianus Taufan, mengatakan, pemerintah harus bisa menjelaskan kepastian moratorium dari kegiatan reklamasi.

“Tujuannya untuk memberi kepastian hukum bagi para pengusaha. Hal itu sekaligus menentukan keberlangsungan reklamasi di daerah lainnya di Indonesia,” ujarnya.

Pengusaha yang juga anggota KEIN, Benny Soetrisno, berpandangan, semakin cepat moratorium diselesaikan karena kerugian tidak diderita bisnis sendiri tapi juga di kesempatan lain. Terlebih, kata dia, bila kucuran pinjaman bank atau loan deposit ratio sudah 90 persen, dan bila ada yang berhenti berarti ekonomi akan terganggu.

“Kita selaku pengusaha, tentunya membutuhkan kepastian hukum dari pemerintah,” tegasnya.

Feriawan Hidayat/FER

Sumber: BeritaSatu.com

 

Prev
Next

Leave a facebook comment