Logo Reklamasi Pantura

Daratan Pesisir Pantai Utara Jawa Terancam Tenggelam

Daratan Pesisir Pantai Utara Jawa Terancam Tenggelam

JAKARTA – Pesisir daratan Pantai Utara Jawa terus mengalami penurunan (land subsidence) yang signifikan. Diprediksi 50 tahun kedepan kawasan tersebut akan tenggelam, jika tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Sampai saat ini diperkirakan sudah ada 101 desa yang tenggelam.

Untuk mencegah dampak buruk yang makin meluas, maka diperlukan pembangunan tanggul raksasa terutama di wilayah pesisir Semarang, Demak dan Pekalongan.

Hasil survey pengukuran geologi yang dilakukan berbentuk model digital evaluasi wilayah utara Jawa menunjukan bahwa, saat ini 26% wilayah Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut. Namun Kota Semarang merupakan daerah yang paling cepat dampak penurunan tanahnya.

Pakar geodesi dari ITB, Heri Andreas mengatakan, “Permuakaannya atas laut tinggal dua atau tiga meter lagi, kalau kita biarkan saja sepuluh tahun lagi Semarang sudah tenggelam menjadi laut,” ungkap Heri, Rabu (21/2).

Penggunaan data GPS dan InSAR (Interferometric Systhetic Aperture) bencana seperti banjir dapat lebih mudah dipahami.

“Sayangnya pemda setempat tidak punya dasar digital evaluasi model dengan geoid, sehingga ketika memodelkan banjir salah terus,” ujar Heri.

Sementara itu, Antonius Bambang Wijanarto, selaku Kepala Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika, Badan Informasi Geospasial  (BIG) mengungkapkan, stasiun pasang surut milik BIG di Semarang sudah tenggelam hampir 1 meter.

BIG bersama dengan GFZ atau Pusat Penelitian Kebumian di Jerman sudah melakukan penelitian bersama selama 10 tahun terakhir ini. Penelitian tersebut untuk mengukur penurunan tanah yang terjadi di Jakarta, Semarang dan Surabaya.

Di tiga daerah tersebut dipasang alat GPS (Global Positioning System) yang digunakan untuk mengetahui kenaikan dan penurunan permukaan laut. Hasil yang didapat adalah kenaikan permuakaan laut yang tidak signifikan, tetapi penurunan tanah yang berarti.

Sedangkan, di Jakarta dan Surabaya tidak mengalami penurunan yang berarti.  Hal tersebut berdasarkan pengukuran dari stasiun yang dipasang di posisi batuan dasar yang keras (bed-rock). Dari survey tersebut diketahui ada beberapa zona penurunan tanah sampai beberapa kilometer dari tanah.

Semarang yang di bagian selatannya masih tinggi tergolong masih aman. Selain itu juga terdapat GPS yang dipasang di tempat yang stabil yang beroperasi 24 Jam digunakan sebagai acuan kerja. Kerjasama penelitian antara BIG dan GFZ ini berlangsung dalam dua tahap yaitu setiap lima tahun.

Model digital evaluasi untuk Jakarta tergolong bagus. Namun, banjir masih terjadi karena peta geoidnya belum ada. Apabila ada data geoid dan lidar, sangat membantu untuk mitigasi rencana banjir. Untuk penurunan tanah digunakan geoid dan GPS.

Peta geoid yang menunjukan ketinggian permuakaan tanah diperlukan untuk peta topografi dan arah aliran banjir. “Bila geoid di Jakarta lebih besar dari Bogor dan Depok, maka alirannya melambat,” ujar Anton

Pemampatan Tanah

Dyah Pangastuti selaku peneliti dari Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika, Badan Informasi Geospasial  (BIG) mengatakan, penurunan tanah yang terjadi di Semarang merupakan akibat dari kompaksi (pemampatan) akibat penyedotan dan pemompaan air tanah. Penyedotan air tanah menyebabkan kosongnya ruang antar batuan ditunjukan dengan gaya berat yang rendah.

Selain itu menurut pakar geodesi dari ITB, Hasanuddin Z Abidin yang juga selaku Kepala BIG mengatakan, hasil geodesi yang dilakukannya sepuluh tahun lalu amblesnya beberapa daerah di Pulau Jawa.

Dengan menggunakan data penginderaan jauh satelit diketahui penurunan tanah di beberapa tempat di Jakarta sebesar 35 centimeter pertahun. Penurunann tanah di Bandung 1-2 cm perbulan. Satu dasawarsa lalu, subsiden tanah di Sidoarjo, Jawa Timur terjadi akibat semburan lumpur ke permukaan sejak 2006 mencapai 4 cm perhari dari arah vertikal.

 

Sumber: Kompas.id

Prev
Next

Leave a facebook comment