Logo Reklamasi Pantura

Reklamasi dan Kota Masa Depan

Reklamasi dan Kota Masa Depan

JAKARTA – Sebagian orang berpendapat bahwa Jakarta tidak memiliki masa depan. Pasalnya jumlah penduduk Jakarta tiap tahun semakin bertambah. Hal ini berbanding terbalik dengan luas daratan yang semakin menipis keterersediannya untuk pemukiman penduduk.

Tidak hanya soal kepadatan penduduk, permasalahan lain seperti kemacetan dan banjir sampai saat ini juga masih menghantui Jakarta dan tak urung selesai. Tentu saja sederet permasalahan tersebut semakin menambah daftar buruknya tata kelola ibu kota.

Bahkan, belum lama ini sempat beredar wacana pemindahan ibu kota negara di kalangan pemerintahan. Alasannya, Jakarta sudah tidak layak lagi untuk dikembangkan sebagai ibu kota negara dan diharapkan pembangunan di Indonesia dapat merata di pelosok daerah.

Sebagai ibu kota negara, sudah semestinya Jakarta memiliki wajah yang ‘cantik’ dan rapi. Berbagai cara pun sudah dilakukan Pemerintah DKI, mulai dari membuat angkutan massal (transjakarta), operasi kependudukan (urbanisasi desa ke kota) yang tidak memiliki izin tinggal, pembangunan Mass Rapid Transit (MRT), normalisasi sungai dan kali, hingga melakukan usaha reklamasi pantai utara Jakarta guna untuk meningkatkan daya tampung dan daya dukung ibu kota yang lebih baik, maju dan modern di masa depan.

Ironisnya, pembangunan dan pengembangan proyek reklamasi pantai utara Jakarta yang sudah sempat berjalan itu kini dihentikan tanpa ada kepastian hukum kelanjutannya. Kebijakan pemerintah menghentikan proyek reklamasi tersebut jelas sangat merugikan semua pihak, bukan hanya merugikan investor/pengembang reklamasi saja, tapi juga masyarakat dan pemerintah DKI itu sendiri.

Reklamasi Solusi Ketersediaan Lahan di Jakarta

Jika ditinjau dari teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota yang biasanya dilakukan oleh negara atau kota besar dengan laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat pesat, tetapi mengalami kendala keterbatasan lahan. Dari persyaratan di atas memang Kota Jakarta dirasa pantas untuk melakukan reklamasi.

Hal itu dapat dilihat dari keluarnya Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Artinya, rencana pembangunan ini sudah diwacanakan sejak zaman pemerintahan presiden Soeharto.

Saat itu, reklamasi juga merupakan kebutuhan untuk meneruskan pembangunan Ibu Kota yang diharapkan dapat membuka ketersediaan lahan baru, menopang pembangunan wilayah utara Jakarta, dan revitalisasi kawasan tersebut agar menjadi lebih baik.

Hal inilah yang menyebabkan mengapa Jakarta harus memiliki lahan baru untuk menampung perkembangan penduduk dan pembangunan. Untuk itu, Jakarta membutuhkan solusi konkrit untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk yang terjadi, reklamasilah jawabannya.

Kemudian, Jakarta juga memiliki masalah penurunan muka tanah yang tinggi, sekitar 10cm/tahun, sementara muka air laut naik 5-6ml/tahun. Tidak beruntungnya kita, sekarang ini ada sekitar 12,1% luas wilayah Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut.

Kalau hal ini terus dibiarkan, maka air tidak bisa dialirkan ke teluk Jakarta. Untuk itulah perlunya mengintegrasikan reklamasi dengan membangun tanggul laut raksasa.

Hal ini perlu dilakukan untuk menurunkan muka air laut di teluk Jakarta, sehingga air dari hulu bisa mengalir dengan lancar, inilah yang akan menjadi salah satu penanganan banjir di Ibukota.

Reklamasi Sebagai Upaya Revitalisasi Pesisir Pantai Utara Jakarta

Terkait dampak lingkungan yang akan disebabkan oleh reklamasi nantinya, hal itu bukan tidak ada solusinya. Faktanya, lingkungan di perairan Jakarta sudah sangat memprihatinkan. Perairan dan biota laut di teluk utara Jakarta sudah tercemar.

Kepala Seksi Perikanan dan Kelautan Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, Sri Haryati, memastikan jenis kerang maupun ikan yang hidup di perairan Teluk Jakarta tak aman untuk dikonsumsi. Kerang dan ikan sudah terkontaminasi limbah industri dan logam berat, seperti merkuri, kadmium, dan seng.

Selain limbah industri, perairan Teluk Jakarta juga semakin tercemar dengan adanya limbah rumah tangga yang tidak tersaring di rumah pompa air. Lalu, ada pula pencemaran dari sisa-sisa kapal bekas yang langsung dibuang ke laut, kebanyakan berupa besi-besi bangkai kapal.

Kemudian, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kasim Moosa, mengatakan kandungan logam berat di perairan Teluk Jakarta mencapai 1,8-2 ppm.

Tingkat pencemaran itu sangat parah jika menilik batas maksimum yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup tentang baku mutu air laut.

Disitu disebutkan bahwa batas maksimum logam berat di wilayah biota laut, pelabuhan, dan wisata bahari masing-masing tak boleh melewati 0,01, 0,03, dan 0,02 ppm.

Untuk hal itulah, reklamasi perlu dilakukan di teluk utara Jakarta. Reklamasi dapat menjadi solusi bagi masalah lingkungan yang menghantui Jakarta.

Reklamasi Tingkatkan Potensi Ekonomi untuk Kesejahteran Rakyat dan Pelesatrian Lingkungan

Melalui reklamasi, kita dapat melakukan revitalisasi pesisir pantai utara Jakarta, sekaligus merestorasi perairannya agar kondisinya menjadi lebih baik lagi.

Proyek reklamasi merupakan salah satu upaya pengembangan pariwisata yang memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Potensi ekonomi tersebut dinilai mampu meningkatkan pendapatan KAS negara untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pelestarian lingkungan.

Pandangan tersebut seperti yang telah dikemukan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam Rakornas PDI-Perjuangan Bidang Kemaritiman di Jakarta, Minggu 24 April 2016. Ia berharap rencana pengembangan wisata dalam proyek reklamasi di kawasan pantai utara Jakarta dapat menjadi sumber devisa terbesar negara.

Arief memperkirakan, sektor pariwisata bisa menjadi penghasil devisa terbesar Indonesia tahun 2020 mendatang mengalahkan sektor migas, batubara, dan kelapa sawit. Ia mengatakan bahwa potensi wisata bahari kita sangat besar, tapi performance-nya masih sangat kecil. Dibandingkan wisata bahari Malaysia yang menghasilkan US$ 8 miliar, Indonesia hanya bisa menyerap US$ 1 miliar yakni 10 persen dari total pendapatan pariwisata kita.

Khusus untuk pariwisata bahari, Indonesia menurut Arief memiliki potensi yang jauh lebih tinggi lagi. Proyek 17 pulau di Teluk Jakarta saat ini kasih dihentikan untuk sementara. Penangguhan proyek ini dilakukan untuk menyeragamkan payung hukum.

Selain sebagai kawasan hunian di bisnis, di pulau hasil reklamasi nantinya akan berdiri kawasan wisata bertaraf internasional.

Hal inilah yang harus terus pemerintah DKI komunikasikan kepada masyarakat tentang mengapa Jakarta butuh melakukan reklamasi pantai utara Jakarta. Karena wilayah utara Jakarta adalah wilayah yang paling cocok untuk direklamasi. Sebab, kondisi wilayah tersebut memang relatif tidak layak dan butuh direvitalisasi.

Urgensi inilah yang perlu disampaikan kepada masyarakat untuk membangun kesepahaman bersama tentang konsep reklamasi. Agar tercapainya persepsi dan opini yang obyektif. Sebab reklamasi tidak hanya merupakan pekerjaan keteknikan, namun juga berdimensi ekologi, sosial dan ekonomi yang harus menjadi perhatian bersama. [nds]

Prev
Next

Leave a facebook comment