Logo Reklamasi Pantura

Ubah Tata Ruang Laut, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 Direvisi

Ubah Tata Ruang Laut, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 Direvisi

Revisi Perpres 54/2008 akan mengakomodasi berbagai rencana pembangunan yang dikerjakan oleh pemerintah pusat dan daerah, termasuk mega proyek pulau reklamasi di teluk Jakarta.

JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta dan daerah-daerah penyangganya: Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur  (Jabodetabekpunjur). Revisi dilakukan karena  dalam 10 tahun terakhir Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) kawasan megapolitan tersebut belum pernah diubah.

Padahal, saat ini pengembangan kawasan Jabodetabekpunjur terus berlangsung sehingga berimplikasi terhadap munculnya berbagai persoalan di kawasan tersebut, di antaranya mengenai kebutuhan ruang dan infrastruktur.

Darmin mengatakan, kawasan Jabodetabekpunjur menyumbang hingga 19,9% dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tingginya kontribusi tersebut membuat laju penduduk di kawasan Jabodetabekpunjur pada tahun ini telah mencapai 32 juta jiwa. Angka ini meningkat dari satu dekade yang lalu sebesar 22 juta jiwa.

Sementara itu, jumlah lahan di kawasan Jabodetabekpunjur terbatas. Padahal, saat ini konversi lahan tidak terbangun menjadi terbangun dari 2012-2015 sudah mencapai 48%. Adapun, lahan sawah yang terkonversi menjadi bangunan mencapai 24,3%.

“Ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan ruang atau tempat tinggal, tempat usaha dan infrastruktur, tentu saja baik jalan, terminal, bandara, pelabuhan, jaringan air bersih, air limbah, pembangkit listrik dan sebagainya,” kata Darmin di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (16/4).

Selain itu, persoalan ini juga memunculkan masalah banjir besar. Menurut Darmin, banjir sebenarnya merupakan hal yang sejak dulu terjadi. Banjir di kawasan Jabodetabekpunjur tercatat pernah terjadi pada 1699, 1714, 1854, 1918, dan 1996.

Namun demikian, fenomena tersebut semakin sering terjadi lantaran masifnya pembangunan di Jabodetabekpunjur. Banjir besar yang terjadi tercatat pada 2002, 2007, 2008, dan 2013. “Banjir tentu karena peningkatan debit sungai sebab perubahan kondisi hulu dan sedimentasi mengurangi kapasitas penampungan aliran sungai,” kata dia.

Menurut Darmin, banjir juga mengancam kawasan Jakarta Utara yang saat ini penurunan muka tanahnya terus berlangsung. Pada 1990, hanya 12% atau 1600 hektar lahan di Jakarta Utara yang berada di bawah permukaan laut.

Adapun pada 2030 diperkirakan hampir 90% atau 12.500 lahan di Jakarta Utara yang berada di bawah permukaan laut. Hal ini disebabkan adanya penurunan muka tanah di Jakarta rata-rata 7,5 centimeter per tahun. “Jakarta Utara akan kena banjir baik dari laut maupun dari sungai karena air sungai tak dapat menuju ke laut,” kata dia.

Hal lain yang jadi persoalan adalah timbulnya kemacetan akibat pembangunan yang kurang terencana dan menjalar, kepadatan, serta belum terintegrasinya sistem transportasi massal. Menurut Darmin, jumlah komuter setiap harinya di Jakarta mencapai 3,5 juta.

Dari jumlah tersebut 62,9% menggunakan motor, 17,4% menggunakan mobil. Hanya 16,7% yang menggunakan kendaraan umum. Kemacetan juga terjadi karena rasio panjang jalan di Jabodetabekpunjur masih lebih rendah dibandingkan kota metropolitan lainnya di dunia.

“Di Jakarta panjang jalan rasionya 7%, Singapura 12%, New York 18%, Tokyo 20%. Saat ini 12,9% kawasan terbangun di Jabodetabekpunjur berada pada daerah dengan kelas kemampuan lahan yang rendah dan sangat rendah untuk pengembangan,” kata dia.

Darmin berharap dengan adanya revisi Perpres Nomor 54 Tahun 2008, berbagai persoalan tersebut bisa segera diatasi oleh pemerintah. Menurut Darmin, revisi ini akan mengakomodasi berbagai rencana pembangunan yang dikerjakan pemerintah pusat atau daerah.

Revisi aturan ini juga akan menekankan keterpaduan rencana hulu, tengah, hilir dan pesisir Jabodetabekpunjur dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Wilayah hulu akan berperan sebagai kawasan lindung dan sumber air, tengah sebagai kawasan penyangga dan resapan air, hilir sebagai kawasan budidaya, sementara pesisir sebagai kawasan lindung pesisir dan budidaya.

“Dengan revisi tata ruang diharap dapat menjadi acuan bagi sektor dan pemerintah daerah dalam mewujudkan kawasan Jabodetabekpunjur, kawasan yang terintegritas, nyaman dihuni, menjadi counter magnet ekonomi dan investasi nasional yang bertaraf internasional, namun memiliki keberlanjutan lingkungan di masa mendatang,” kata Darmin. [katadata]

Prev
Next

Leave a facebook comment