Logo Reklamasi Pantura

Reklamasi, Kota Skala Manusia, dan Tiang Listrik yang Aman

Reklamasi, Kota Skala Manusia, dan Tiang Listrik yang Aman
Seperti gas buang manusia (maaf), isu tentang tanah tumbuh, kota ramah warga, dan akrobat politik yang menyeret tiang listrik terus terus mengisi ruang-ruang diskusi publik. Tak terasa manfaatnya, tapi tercium kuat di antara kita.
Para ahli pun larut dalam persaingan mengipas-ngipas gas, ada yang menghilangkan baunya, namun banyak yang justru jadi menyebarkan ke ruang-ruang tidak perlu.
Mari satu per satu kita bahas. Lupakan sejenak masalah tiang listrik yang tak aman dari ancaman tabrakan di ibu kota Indonesia ini, lanjutkan saja pada isu yang sedikit terlupakan, pulau buatan!
Berbeda dengan kita, ketika kawasan Marina Financial District di Singapura mulai digulirkan idenya, berbagai diskursus teknis pun bergulir di kalangan pakar, terutama para perencana, insinyur, ahli lingkungan, dan arsitek.
Melalui lorong-lorong naskah akademik dan berlapis-lapis diskusi business case, program peremajaan ruang baru di kawasan premium Singapura itu pun bergulir sampai akhirnya berdiri dengan megahnya.
Menikmati sore hari di Singapura, Selasa (7/2/2017).(KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Menikmati sore hari di Singapura, Selasa (7/2/2017).(KOMPAS.COM/I MADE ASDHIANA)

Awalnya, saya sangat kagum, ketika hampir 20 tahun sejak dimulainya rencana Jakarta Waterfront City pada 1992, diskursus penambahan tanah di pesisir Jakarta diwarnai debat akademis (dan politis) yang kadang sangat panas, namun dirasa penting.
Sejak Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Bappeda DKI menyusun Jakarta Waterfront City sebagai bagian dari Jabotabek Metropolitan Development Program (JMDP), program penciptaan tanah baru di pesisir utara Jakarta pun terus bergulir.
Sasaran awal program ini yang semula adalah melakukan city beautyfication khususnya di sekitar Sunda Kelapa, pun terus berkembang. Konsep waterfront city itu adalah hasil para pejabat menengah Indonesia melakukan kunjungan kerja ke Belanda untuk melihat Delta Werken dan Lilystad.
Embrio isu hangat pun dimulai, ketika perubahan drastis dilakukan tahun 1995 dengan dibuat ruang pemisah laut dan daratan. Sebelumnya, program ini untuk menyambung dengan daratan. Hal ini diperlukan agar ada pelepasan air.
Sunset dari esplanade Pantai Scheveningan, Den Haag, Belanda.(ARYA DARU PANGAYUNAN)

Sunset dari esplanade Pantai Scheveningan, Den Haag, Belanda.(ARYA DARU PANGAYUNAN)

Sejak saat itulah, para ahli perencana pun masuk dalam era dikotomi antara reklamasi sebagai lahan yang terpisah dengan daratan, atau pulau baru!
Kelihatannya sepele. Namun, 20 tahun kemudian, para ahli dan perencana justru terjebak dalam dikotomi sederhana ini. Pasalnya, saat ini ada dua Undang-undang (UU) yang mengawal hal yang sama, melalui dua sudut pandang berbeda.
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur pulau urugan tersebut sebagai lahan objek wajib bagi penyusunan Rencana Tata Ruang yang bermotif daratan. Sedangkan, adik kandungnya yaitu UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengatakan bahwa tanah urugan tersebut adalah pulau kecil di pesisir, yang tanggung jawab dan perencanaan nya menjadi bagian dari pemanfaatan laut dan pulau dengan kriteria rencana zoning yang berbeda.

Pendekatan yang dipakai dalam perkembangan selanjutnya dari proyek lahan baru di utara Jakarta sangat outdated. Seperti negara-negara Asia lainnya, kita berlomba untuk menciptakan ruang-ruang raksasa, pemanfaatan ruang secara masif, infrastruktur menjadi panglima pembangunan, dan modernitas sebagai filosofi dasarnya.

Cheonggyecheon, Seoul.(Archdaily)

Cheonggyecheon, Seoul.(Archdaily)

Seoul dengan penciptaan daratan baru di Incheon dan pembangunan kota baru Songdo, dibanggakan sebagai titik awal pembangunan smart city di dunia.
Sejak puncak pembangunan Korea akhir 1970-an, kota di sana pun masuk jajaran kota dunia, dengan suksesnya menjadi tuan rumah perhelatan dunia Olimpiade 1988, Piala Dunia 2002, dan sekarang Olimpiade Musim Dingin Peongchang 2018.
Jalan besar dan masif masih seperti koridor Itaewon, jaringan jalan utama di koridor distrik pusat kota seperti Meongdong, Gangnam dan Seongdong-gu, menjadikan kota yang dingin dan keras. Koridor Osaka dan Tokyo, pun demikian. Pembangunan infrastruktur dasar menjadi penghela pembangunan.

Sejak dimulainya kereta cepat Shinkansen generasi pertama, yaitu Zero-kei Hikari pada tahun 1964, koridor ini terus berkembang seiring keinginan warga untuk bergerak lebih cepat. Kei generasi satu mengangkut orang ke Tokyo dari Osaka dalam waktu 3 jam 10 menit, dan kini generasi terakhir sudah bisa hanya 2.5 jam.

Semua kendaraan di Hangzhou, China, berjalan pada jalurnya. Tak ada saling serobot atau mengambil jalur yang bukan haknya.(Hilda B Alexander/Kompas.com)

Semua kendaraan di Hangzhou, China, berjalan pada jalurnya. Tak ada saling serobot atau mengambil jalur yang bukan haknya.(Hilda B Alexander/Kompas.com)

China jangan ditanya. Kota-kota utama, sekunder dan tersiernya direncanakan dan dibangun dengan visi kota masif, dengan skala yang begitu kontras. Lebar jalan, jembatan, pedestrian dan rusunawa seolah ingin mengatakan bahwa orang berperawakan kecil pun bisa menjadi raksasa. Si liliput ingin menjadi Gulliver. Dalam hal ini, mereka berhasil.
Singapura sejak pertama kali menggulirkan program reklamasi pantainya tahun 1849 dengan perbaikan kawasan pinggir sungai oleh Sir Stamford Raffles, sampai kini hampir 25 persen atau 72.000 hektar wilayah negaranya berasal dari urugan tanah reklamasi!
Kota Skala Manusia

Perkembangan kota-kota dunia saat ini sedang berubah pesat untuk melawan sprawl atau perkembangan melebar horisontal, dan terus berkembang kembali ke pusat. Warga muda kota pun semakin membutuhkan lokasi yang mudah dijangkau dan efisien, walaupun mereka berkorban tinggal di ruang petak sekian lantai di atas permukaan bumi. Kota pun semakin kompak dan tumbuh vertikal.

Sepeda merupakan alat transportasi yang digunakan penduduk Kopenhagen, Denmark sehari-hari.(SHUTTERSTOCK)

Sepeda merupakan alat transportasi yang digunakan penduduk Kopenhagen, Denmark sehari-hari.(SHUTTERSTOCK)

Kota-kota dunia yang merupakan cikal bakal peradaban urban seperti Paris, London, Barcelona, Vienna, Kopenhagen, bahkan kota yang relatif baru seperti Melbourne dan Adelaide, sebaliknya direncanakan dalam keterbatasan ruang.
Dunia pun melihat lahirnya perancang kota seperti Jan Gehl, Jeff Speck dan Amanda Burden yang memiliki pengaruh kuat dalam membuat kota kompak ini pun semakin ramah penduduk, berskala manusia dimanfaatkan warga bisa berjalan kaki dan bersepeda, efisien dan tetap indah dan hijau.
Sosiolog dunia seperti Saskia Sassen pun sudah memprediksi bagaimana kota akan menjadi semakin kompleks dalam menciptakan ruang bagi warg nya.
Maka ketika ruang baru tercipta di kota hasil reklamasi, kita pun lalu bertanya, seperti apa ruang bagi warga? Bagaimana kegiatan warga dapat digabungkan dengan pelestarian peradaban warga dan menjunjung tinggi nilai-nilai utuh bangsa? Bagaimana sejarah masa lalu menjadi tonggak dalam kehidupan kota yang semakin harmonis?
Salah satu sudut kota Seoul, Korea Selatan.(Bernardus Djonoputro)

Salah satu sudut kota Seoul, Korea Selatan.(Bernardus Djonoputro)

Saya sangat terkesan ketika mengunjungi dan berziarah ke pojok kota Seoul yaitu Jeoldu-san. Berada di atas bukit karang kecil d ipinggir sungai Han, tempat yang ditata demikian indah ini dengan berbagai karya seniman kontemporer Korea, terasa begitu damai dan tenteram.
Taman indah yang sangat bersejarah bagi warga Seoul ini pada 1860-an menjadi tempat penyiksaan dan pembunuhan para martir misionaris Katolik di Korea. Karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran dinasti Daewo-gun saat itu, tak kurang dari 120-an pengikut Katolik disiksa secara kejam, penggal dan dilemparkan ke jurang, yang sekarang tepat berada di pinggir jalan raya distrik Mapo-gu.
Dengan konstruksi infrastruktur dan hutan beton residensial di sekitarnya, tempat ini dapat tetap menjadi ruang kota yang begitu nyaman. Di dalam kompleks taman pun, menjadi tempat peristirahatan modern dengan kapasitas ribuan warga, sebuah tempat menaruh abu jenazah warga kota yang ditata begitu indah dan menyejukan. Warga Korea sebagian besar mengkremasi jenazah, dan kemudian abunya ditempatkan di lokasi-lokasi seperti Jeoldu-san ini.
Taman Jayu di Incheon, Korea Selatan. Di taman ini terdapat patung Jenderal Douglas MacArthur. Sekitar patung terdapat taman dengan bunga beraneka warna.(KOMPAS TV/YOPHIANDI KURNIAWAN)

Taman Jayu di Incheon, Korea Selatan. Di taman ini terdapat patung Jenderal Douglas MacArthur. Sekitar patung terdapat taman dengan bunga beraneka warna.(KOMPAS TV/YOPHIANDI KURNIAWAN)

Jeoldu-san adalah contoh ekstrem bagaimana ruang kota bisa manusiawi, dan berskala manusia. Bisa menjadi tempat yang damai, sekaligus berfungsi untuk penggunaan lahan seperti pemakaman yang sangat sulit didapat saat ini.
Infrastruktur masif modern seperti jalan tol dan light rail transit (LRT) melintas di atas dan di bawahnya, jaringan utilitas seperti listrik, telepon, internet, dan air tertanam rapi secara aman. Semua untuk memberikan ruang layak hidup bagi warga kota modern.
Bisakah kota kita rapi, sehingga tiang listrik pun aman terhadap ancaman ditabrak kendaraan lewat?
Penulis:
Bernardus Djonoputro – Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan.
Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah. Saat ini menjabat Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan. Juga sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman. Saat ini menjadi tim ahli APEC Center for Urban Infrastructure Financing bermarkas di Melbourne, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salburg Austria.

Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah. Saat ini menjabat Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan. Juga sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman. Saat ini menjadi tim ahli APEC Center for Urban Infrastructure Financing bermarkas di Melbourne, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salburg Austria.

Sumber: Kompas.com
Prev
Next

Leave a facebook comment