Logo Reklamasi Pantura

Reklamasi Final secara Hukum

MAHKAMAH Agung (MA) melalui putusan peninjauan kembali (PK) memenangkan enam perusahaan pengembang pengelola reklamasi pantai utara Jakarta. Dengan begitu, perkara tersebut dinyatakan telah selesai dan berkekuatan hukum tetap.

Hal itu ditegaskan juru bicara MA Suhadi saat menanggapi status hukum pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta, Jumat (7/10) lalu.

Pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta sempat tertunda akibat terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003. Menteri Lingkungan Hidup di Kabinet Gotong Royong Nabiel Makarim menerbitkan SK itu untuk menghadang pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta.

“PK merupakan upaya hukum terakhir. Dengan terbitnya putusan PK, sebuah perkara sudah berkekuatan hukum tetap yang mengacu pada amar putusan PK tersebut,” jelas Suhadi.

Meski telah berkekuatan hukum tetap, masih saja ada upaya hukum untuk menghadang reklamasi pantai utara Jakarta. Kali ini sejumlah nelayan yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait dengan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G yang diterbitkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Izin reklamasi Pulau G dikantongi PT Muara Wisesa Samudra. Anehnya, pada 31 Mei 2016, PTUN Jakarta mengabulkan gugatan para nelayan walaupun sudah ada putusan PK yang berkekuatan hukum tetap.

Hakim ketua PTUN Jakarta Adhi Budi Sulistyo dalam putusannya beralasan reklamasi akan berdampak buruk terhadap ekosistem laut di sekitar Pulau G. Selain pertimbangan itu, majelis hakim menilai penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak melibatkan para nelayan.

Ketidakpastian hukum akibat putusan PTUN tersebut mengundang tanya. Pasalnya, putusan PTUN menabrak putusan PK yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam merespons hal itu, Suhadi mengatakan gugatan para nelayan sah saja karena subjeknya berbeda dengan subjek gugatan yang telah diputuskan melalui PK.

Meski demikian, lanjutnya, karena rek­lamasi Pulau G merupakan bagian dari reklamasi pantai utara Jakarta yang telah mendapat putusan PK, sebaiknya putusan PK tersebut dilampirkan untuk bahan pertimbangan majelis hakim.

“Masih ada tahapan banding dan kasasi. Sebaiknya putusan PK itu dilampirkan. Majelis hakim akan mempertimbangkan,” jelasnya.

Secara terpisah, salah satu pemangku kepentingan di Pelabuhan Tanjung Priok yang meminta identitasnya disamarkan mengatakan putusan PTUN menimbulkan kebingungan. Pasalnya, perusahaan pengembang pengelola reklamasi pantai utara Jakarta secara hukum telah menang melalui putusan PK.

Menurutnya, reklamasi sangat dibutuhkan dan menjadi satu-satunya jalan untuk mengembangkan pelabuhan laut terbesar di Tanah Air tersebut. Pengembangan pelabuhan melalui reklamasi pada akhirnya akan bermuara untuk kepentingan nasional.

Dalam kondisi saat ini, lanjutnya, penambahan dermaga di Pelabuhan Tanjung Priok dengan cara pembebasan lahan sudah tidak mungkin dilakukan. Di lain hal, kegiatan ekspor-impor terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

“Pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok mutlak dilakukan. Satu-satunya cara ialah dengan membangun pulau buatan, dengan cara mereklamsi untuk kepentingan pelabuhan,” tuturnya.

Di era Orde Baru, sambungnya, Presiden Soeharto telah melihat dan memahami kebutuhan pengembangan lahan untuk Pelabuhan Tanjung Priok. Pemerintah pusat menilai satu-satunya opsi ialah mereklamasi perairan Teluk Jakarta untuk membuka ruang lebih luas lagi.

Payung hukum
Pada 1995, pengembangan pantai utara Jakarta telah disiapkan dengan matang. Sebagai payung hukum, Presiden Soeharto menerbitkan Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keppres ditetapkan pada 13 Juli 1995.

“Isi Keppres Nomor 52 Tahun 1995 ialah menetapkan reklamasi sebagai satu-satunya cara untuk menata dan mengembangkan wilayah daratan dan pantai untuk mewujudkan kawasan pantai utara Jakarta sebagai kawasan andalan,” terangnya.

Kawasan andalan diartikan sebagai kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan pengembangan kota. Di era rezim pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Keppres Nomor 52 Tahun 1995 dipersoalkan.

Pada 19 Februari 2003, Menteri Lingkungan Hidup yang saat itu dijabat Nabiel Makarim mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.

Sebagai alasan, Nabiel menyebutkan bahwa hasil studi tentang analisis mengenai dampak lingkungan terhadap reklamasi Teluk Jakarta akan berakibat pada timbulnya berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. “Menteri Lingkungan Hidup mencoba menggugurkan keppres dengan memakai SK menteri. Kenapa bisa, ya,” terangnya.

Manuver Menteri Lingkungan Hidup tersebut membuat berang enam perusahaan pengembang yang telah meneken kerja sama dengan Badan Pengelola Pantai Utara Jakarta. Pertikaian enam perusahaan pengembang dengan Menteri Lingkungan Hidup berlanjut ke meja hijau.

SK Nomor 14 Tahun 2003 digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Keenam perusahaan yang me­ngugat ialah PT Bakti Bangun Era Mulia, PT Taman Harapan Indah, PT Manggala Krida Yudha, PT Pelabuhan Indonesia II, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan PT Jakarta Propertindo.

Dalam dokumen gugatan, para pihak yang bersengketa ialah Tjondro Indria Liemonta dan kawan-kawan mewakili enam perusahaan pengembangan melawan Menteri Lingkungan Hidup dan kawan-kawan.

Materi gugatan mempersoalkan dua hal pokok. Pertama, kewenangan Menteri Lingkungan Hidup menerbitkan keputusan tentang ketidaklayakan lingkungan atas rencana reklamasi pantai utara Jakarta.

Kedua, kewenangan Menteri Lingkung­an Hidup yang menginstruksikan agar instansi berwenang tidak menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta.

Upaya hukum enam perusahaan pengembang membuahkan hasil. Pada PTUN tingkat pertama, majelis hakim mengabulkan gugatan mereka. Begitu pula putusan banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta menguatkan putusan PTUN tingkat pertama.

Namun, keadaan berbalik di tingkat kasasi. Hakim di Mahkamah Agung (MA) yang menangani perkara kasasi memenangkan Menteri Lingkungan Hidup.

Sebagai upaya hukum terakhir, enam perusahaan pengembang menggunakan hak mereka untuk mengajukan permohon­an peninjauan kembali (PK).

Sesuai Pasal 66 sampai Pasal 77 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, pihak-pihak yang beperkara berhak mengajukan permohonan PK dengan tenggat 180 hari.

Pada putusan kasasi, majelis hakim yang diketuai Ahmad Sukardja dan dua hakim anggota Supandi dan Yulius mengabulkan seluruh gugatan para penggugat. Putusan kasasi MA bernomor 12 PK/TUN/2011 pada 24 Maret 2011 juga menginstruksikan agar Menteri Lingkungan Hidup mencabut SK Nomor 14 Tahun 2003.

Terbitnya putusan PK tersebut berarti perkara reklamasi Teluk Jakarta sudah selesai dan telah berkekuatan hukum tetap. Para perusahaan pengembang secara hukum dapat melanjutkan reklamasi Teluk Jakarta. (Sru/T-1)

Sumber: Mediaindonesia.com

 

Prev
Next

Leave a facebook comment