Logo Reklamasi Pantura

Pengamat: Penerbitan Izin Operasional Reklamasi Sesuai Hukum

Jakarta, GATRAnews – Mantan Direktur Walhi & Greenpeace South East Asia Emmy Hafid menyatakan, Izin Operasional Reklamasi yang diterbitkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, sudah tepat. Karena, prinsip hukum tidak boleh retroaktif atau tidak bisa mundur ke belakang. “Izin yang sudah keluar tahun 2012 misalnya, nggak bisa mengikuti peraturan 2016,” kata Emmy, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (5/4).

Menurut Emmy, berdasarkan undang-undang, jika sudah diberikan izin prinsip, dalam dua tahun harus diberikan izin operasional. Kalau tidak, pemerintah bisa digugat. “Hal in menjadi salah satu alasan mengapa reklamasi harus dilanjutkan,” tambah Emmy.

Jika izin prinsip sudah diterbitkan, ujarnya, batas untuk menerbitkan izin operasional hanya 2 tahun.  “Jika Pemprov tidak keluarkan izin operasional, memberi pesan buruk kepada investor dunia.  Di Indonesia, begitu pergantian kepemimpinan, tidak ada kepastian hukum bagi investor,” jelas Emmy.

Emmy menambahkan, menurut berbagai kajian reklamasi feasible untuk dilaksanakan. Karena itu, pemerintah juga tidak mempunyai alasan untuk tidak menerbitkan izin operasional reklamasi. Sebagai mitra kerja pemerintah, pihak swasta yang terlibat juga memiliki urgensi agar reklamasi bisa segera dilaksanakan.

Reklamasi yang saat ini tengah berjalan, jelas Emmy, dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden tahun 1995 yang memberikan kewenangan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan reklamasi. “Sampai sekarang Keppres itu belum pernah dicabut. Ada Perpres baru tapi Keppres tidak pernah dicabut,” jelas Emmy Hafid.

Pandangan senada juga disampaikan oleh pakar teknik perairan Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Hernawan Mahfudz, MS. Menurut dosen ITB ini, proyek reklamasi yang sedang berjalan tidak harus dibatalkan karena akan membuat permasalahan semakin kompleks.

“Bukan hanya bisa digugat yang berpotensi menghabiskan uang negara yang besar sebagai ganti rugi, juga sangat kontraproduktif melihat prosesnya yang telah dirintis bertahun-tahun,” kata Hernawan.

Hernawan Mahfudz menjelaskam, gagasan reklamasi muncul karena problema yang dihadapi oleh ibukota Jakarta yang tengah menghadapi ancaman pesatnya laju penurunan muka tanah yang akan mendatangkan banjir dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.  Jika tak ada upaya untuk menghentikan laju penurunan tanah, maka sebagian besar wilayah Jakarta Utara akan berada di bawah permukaan laut.

“Ibu kota juga perlu memperluas wilayahnya untuk meningkatkan dayatampung penduduk yang tumbuh pesat,” ungkap Hernawan Mahfudz.

Menurut Hernawan Mahfudz, proyek reklamasi yang juga terkait dengan proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) akan membawa manfaat besar bagi penataan dan pengembangan Teluk Jakarta. “Secara lingkungan, proyek ini akan turut memperbaiki ekosistem pantai Jakarta yang puluhan tahun rusak parah akibat pencemaran melalui aliran 13 sungai maupun yang dibuang langsung di Teluk Jakarta,” ujar Hernawan Mahfudz.

Tak hanya itu. Hernawan Mahfudz menambahkan, secara sosial ekonomi reklamasi akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar karena membuka berbagai lapangan pekerjaan baru.

“Yang paling utama, reklamasi bisa menjadi solusi mengatasi persoalan ibukota. Misalnya, mengatasi ancaman banjir, penurunan permukaan tanah, dan meningkatkan dayatampung penduduk,” kata Hernawan yang juga anggota dari Water Engineering Research Group ini.

Kedua tokoh ini sependapat, bahwa upaya mencari solusi untuk mengatasi problema ibukota, mau tidak mau, harus melibatkan pihak swasta. “Tanpa reklamasi, pembiayaan untuk membangun tanggul dan fasilitas lain tadi dari mana? Reklamasi adalah cara pemerintah mendapatkan uang baru dan merevitalisasi perekonomian di pantai utara Jakarta,” jelas Emmy.

Emmy memaparkan, di pulau hasil reklamasi nantinya akan ada rumah susun,  rusunawa, rusunami untuk buruh dan masyarakat semua kelas ada di sana.  Rinciannya, dari 5.100 hektare, 40% diambil untuk publik, 30% ruang terbuka hijau, 5% untuk fasilitas umum, dan 5% untuk perumahan rakyat. Khusus yang 30% itu, termasuk ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru.

“Yang dapat diperjualbelikan swasta adalah 58%, dan 42% akan dikelola pemerintah,” kata Emmy Hafid.

Sumber: Gatra.com

 

 

Prev
Next

Leave a facebook comment